Rabu, 04 November 2009

Cerita Di Balik Terminal

Di tengah keterbatasannya, Pak Ridwan, Ibu Erna dan Pak Sibarani, berjuang mengais rejeki di sela-sela keramaian terminal Kampung Melayu.

Sebagai Ibu Kota negara, Jakarta menjadi tempat berkumpulnya manusia multi etnik dari seluruh penjuru negeri. Jakarta telah bertumbuh menjadi pusat kegiatan ekonomi dan memacu orang-orang datang dari luar daerah untuk mengadu keberuntungan di Jakarta. Situasi tersebut, juga tidak lepas dari, masih sulitnya perekonomian di daerah untuk memperbaiki kehidupan mereka.

Dengan bekal seadanya, mereka berusaha bertahan hidup. Sebagian bekerja serabutan, sebagian lagi menaruh nasib hidupnya di terminal-terminal. Otomatis terminal menjadi tempat untuk mencari sumber pendapatan. Berbagai bentuk ‘warung berjalan’ bisa kita jumpai di sana. Demikian istilah ini digunakan karena memang, tidak disediakan tempat khusus untuk berjualan di terminal.

Sejauh ini, kita tidak akan menemukan cerita kemapanan di terminal. Di sana kita akan menjumpai pedagang kaki lima, penjual asongan, pengamen cilik, penjual nasi, dan pengojek berjibaku dengan debu, asap, teriknya matahari demi sekantong recehan. Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur misalnya, menjadi salah satu potret terminal yang menyimpan segudang cerita.

Di hari-hari normal, Terminal Kampung Melayu merupakan salah satu titik kemacetan di Jakarta. Terminal ini juga menjadi sudut kotor kota. Kita akan menjumpai pot-pot pohon berubah fungsi menjadi tempat sampah. Kalau kita melihat dari atas jembatan penyeberangan Kampung Melayu, terminal ini sudah sangat padat. Tak banyak angkutan umum yang dapat tertampung di dalam emplasemen terminal. Lalu lintas semakin macet karena banyak orang yang menyeberang jalan seenaknya saja, tidak melalui jembatan penyeberangan orang. Kehadiran halte TransJakarta di dalam terminal tidak cukup untuk ‘mendandani’ terminal menjadi lebih manusiawi.

Di banyak sudut terminal terutama di area kosong, kita akan menemukan pengojek, pedagang asongan, anak jalanan, pedagang gorengan, penjual nasi, dan pengamen. Beberapa dari antara mereka berkenan untuk membagikan sedikit cerita kepada kita.

Bapak Ridwan (63), misalnya, sudah puluhan tahun menjadi pedagang pisang di Terminal Kampung Melayu. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya setiap hari, kakek yang punya lima anak dan lima cucu ini berangkat pagi-pagi dari rumahnya di Cisalak, Jakarta Timur.

Usianya yang sudah tidak muda lagi, membuatnya tidak mampu mengangkut peti-peti pisang dagangannya. “Saya setiap paginya datang ke sini, terus saya belanja ke pasar. Terus saya jual di sini, saya menyuruh tukang angkut barang untuk mengangkatnya, “ katanya sambil menunjuk ke arah pasar tempat dia membeli pisang sebelum dia jual lagi, yang berada di bawah jembatan layang tidak jauh dari terminal.

Pak Ridwan setiap harinya memperoleh pendapatan bersih Rp 20.000 per hari. “Belum lagi dipotong untuk bayar uang makan saya di sini, dan ongkos pulang pergi, “ katanya lirih. Namun, dia tetap bersyukur karena masih bisa tetap melakukan pekerjaannya, yang walaupun penghasilannya pas-pasan, cukup menolong untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya bersama istrinya. Sementara beberapa anaknya sudah berkeluarga.

Meskipun jarak antara Cisalak dan Terminal Kampung Melayu cukup jauh, Pak Ridwan lebih memilih berjualan di Terminal Kampung Melayu. “Sudah lebih enak berjualan di sini, “ katanya lagi. Menjelang sore, kalau pisang-pisang dagangannya yang tidak habis dijual, dititipkannya dekat terminal. Untuk dijual lagi besok harinya.

Begitu juga dengan Ibu Erna (45) seorang warga pendatang dari Alas Roban, Jawa Tengah yang kini tinggal di sekitar Jalan Raya Otista, Jakarta Timur. Ia mengaku sudah puluhan tahun berjualan nasi di Terminal Kampung Melayu. Sebelumnya ia sempat menjadi penjual asongan.

Bermodalkan meja kecil tanpa kursi, dan menggelar makanan yang telah dimasaknya dari rumah, Ibu Erna mempersilakan para pembeli yang kebanyakan para supir dan para kondektur untuk duduk di pinggir jalan beralaskan kardus bekas yang sudah disediakannya. Para supir dan kondektur itu dengan lahap menyantap nasi dan lauk yang ada meski bau pesing sangat menyengat. Bau pesing ini sebenarnya akibat ulah mereka sendiri, yang kencing sembarangan tatkala mobil mereka berhenti di terminal.

Menu yang disediakan Bu Erna sebenarnya sangat menarik, siapapun yang melihatnya pasti tergugah selera makannya. Ada ayam gulai, ikan sambal, telor, serta sayur yang disantan dengan kental. Ada pula minuman siap saji yang terdapat dalam box berisi es. Ia juga menyediakan air panas untuk membuat teh atau kopi hangat. Ketika ditanya mengapa tidak membuka warung yang menunya tidak kalah dengan menu makanan di restoran Padang, Ibu Erna menjawab dengan nada rendah, “Kemauan sih ada mas, tapi gak kuat bayar kontrakannya, “kata Ibu Erna yang punya lima anak ini.

Meski berdagang dengan sarana yang sangat minim, Ibu Erna mengaku bisa menyekolahkan lima anaknya. Dua anaknya tinggal di Alas Roban, dan dua lagi tinggal bersama mereka dan keduanya masih sekolah. Sementara anak pertamanya sudah menikah dan kini tinggal di Jember, Jawa Timur.

Lain lagi cerita Sibarani (39) seorang supir yang datang dari Sumatera. Ia setiap hari mengangkut penumpang dengan trayek dari Kampung Melayu-Ragunan. Dia mengaku pendapatannya berkurang sejak beroperasinya Busway. Namun, karena sulitnya mendapat pekerjaan, profesi sebagai supir terpaksa dia kerjakan. “Sebenarnya karena tidak ada pekerjaan yang lain, kita menjadi sopir, “ kata pria yang sudah tinggal di Jakarta sejak tahun 1992 ini sambil menghela napas.

Dia mengeluhkan, pendapatan yang diterimanya tidak cukup lagi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya yang tinggal di sekitar Pondok Kopi, Jakarta Timur. Sambil sesekali menarik nafas, ia menceritakan anaknya yang tahun ini akan lulus dari SMA dan berencana kuliah. Sibarani sangat berkeinginan menyekolahkan anaknya ke universitas, namun anaknya itu menyadari keadaan orang tuanya yang kurang mampu.

“Pak, biarlah saya kerja dulu, setelah bekerja saya akan kuliah lagi, “ kata Sibarani sambil menirukan ucapan anaknya yang tidak ngotot memaksa ayahnya supaya membiayai dia kuliah. “Syukurlah kalau kamu mengerti keadaan orang tuamu,” kata Sibarani dengan hati pedih menjawab anaknya.

Cerita kehidupan yang serba sulit juga dialami oleh para pengojek yang mangkal di terminal. Mereka datang dari berbagai profesi termasuk tukang bangunan. Bahkan ada yang bekerja sebagai pegawai negeri yang setiap hari melewati terminal. Padahal sebagian dari mereka tinggal di Pancoran, Bekasi, bahkan Tanjung Priuk. Namun, kesulitan ekonomi membuat mereka harus menyambi untuk menambah sumber pemasukan.

Sama seperti para pengojek, para pedagang asongan yang ada di terminal Kampung Melayu juga kebanyakan dari luar Kampung Melayu. Seperti Pak Maman (47), yang tinggal di Kramat Jati, Jakarta Timur. Bapak berusia hampir kepala lima ini mengaku, sudah dua puluh tahun lebih mangkal di terminal tersebut.

Kakek yang sudah memiliki cucu satu ini juga kadang-kadang mangkal di Pusat Perbelanjaan Jatinegara yang tidak jauh dari terminal Kampung Melayu. Dari pengakuannya sebagai pedagang asongan, ia mampu menghidupi keluarganya walaupun pas-pasan. Layaknya seorang pekerja kantoran, dia juga berangkat lebih pagi dari rumahnya. Maklum, dia takut ditinggal pelanggannya yang sudah setia membeli dagangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar