Senin, 16 November 2009

Preman

Preman Dalam Kajiannya

Dalam bukunya Peasant War in Germany dan Class Struggle in France , Marx dan Engels sedikit mengulas tentang lumpenproletar sebagai suatu pseudo-kelas. Lumpenproletar mencakup jembel, luntang-lantung, preman, bajingan, penjahat, dan semua orang yang terdepak dari hubungan-hubungan produksi pokok. Pengangguran miskin, pekerja serabutan yang jarang bekerja, juga bisa dimasukkan ke dalam kelas ini. Lumpenproletar tiada lain adalah ‘kelas buangan’ yang isinya campur-aduk orang dari berbagai asal-usul kelas, terutama mereka-mereka yang terdepak dari saluran-saluran penghidupan ‘wajar’, baik di pedesaan maupun di perkotaan, tanpa bisa memasuki sektor-sektor formal di perkotaan yang sedang bertumbuh dalam industrialisasi. Mereka menempati wilayah-wilayah gelap dalam gegap-gempita kapitalisasi segala sektor kehidupan. Marx memasukkan lumpenproletar ke dalam kategori ‘cadangan industrial’ atau kelebihan penduduk relatif yang memelihara tingkat penghisapan tenaga kerja oleh kapital. Menurut Marx, dalam kapitalisme lumpenproletar bisa juga menjadi alat akumulasi kapital borjuasi lewat pemerasan, pengorganisasian pengemis, atau penguasaan ekonomi gelap dan jasa-jasa ilegal seperti penyelundupan, pelacuran, perjudian, penagih utang, pembunuh bayaran, keamanan, dan sebagainya.

Dalam penelitiannya tentang blater dan aneka rupa bajingan di Madura, Abdul Rozak (2006) mengaitkan keberadaan preman sebagai satu kategori sosial dengan kondisi sosio-ekologis sistem tegalan yang dominan di Madura. Menurut Rozak, keterbatasan ekologis yang berujung pada kondisi kemelaratan di kalangan warga desa sulit dipungkiri punya andil dalam menumbuhkan ‘budaya’ preman Madura. Menjadi bandit atau blater merupakan salah satu jalan keluar dari sempitnya saluran penghidupan wajar dan memasuki ‘jalan hitam’.

Sementara itu Henk Schulte Nordholt (2002), seorang sarjana sejarah dari negeri Belanda, mengaitkan preman kontemporer dengan para jago dari masa penjajahan Belanda dahulu. Para jago tiada lain adalah bandit-bandit pedalaman yang berada di lingkaran kekuasaan lokal beserta intrik perebutan kekuasaan antarelitnya.

John M. MacDougall, dalam hasil penyelidikannya tentang ekonomi politik keamanan di Lombok, mengambil kesimpulan bahwa keberadaan preman kontemporer yang menjual jasa keamanan bagi elit-elit politik lokal kian berarti karena 1) krisis moneter, 2) terpeliharanya politik berbasis massa, dan 3) praktek-praktek otonomi daerah. Ketiga gejala tersebut memunculkan masalah sekaligus kesempatan bagi para pemimpin setempat di masa runtuhnya kekuasaan rezim totaliter Orde Baru. Otoritas kebenaran tidak lagi sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Otoritas itu mengambang tanpa pijakan dan menunggu diperebutkan oleh para pemimpin setempat yang membutuhkan barisan ‘pengaman swasta’ sendiri-sendiri (MacDougall 2007). Dengan kata lain, bertumbuhnya persaingan demi kekuasaan lokal telah dilapangkan oleh politik uang dan mobilisasi politik atas preman. Pemanfaatan preman untuk mengorganisasi ‘gerakan massa’ menjadi resep penting yang dengannya elit-elit daerah membuka saluran ke sumber daya pemerintah lewat berbagai proyek.

Dalam nuansa yang tak jauh beda dengan dua sarjana di atas, Untung Widyanto (2006) mengkaji salah satu organisasi preman yang mengusung identitas kebetawian di Jakarta. Dari penelitiannya Widyanto berkesimpulan bahwa ada dua jenis preman, yakni preman kantoran atau preman berdasi dan preman jalanan. Preman berdasi biasanya sudah berorientasi hidup mewah dan memiliki “potensi berkembang menjadi mafia”. Gerak usaha preman berdasi adalah pengamanan perbankan, bisnis properti, bursa saham, perdagangan, kesehatan dan obat-obatan (narkotika). Para preman kantoran selalu terorganisasi dengan baik dan dekat dengan sumber-sumber kekuasaan. Pemimpin mereka juga biasanya, meski tidak selalu, berada di dalam jaringan kekuasaan formal entah sebagai anggota legislatif atau pejabat partai.

Berbeda dengan preman berdasi, preman jalanan bercirikan sering tidak terkoordinasi dan geraknya tidak terencana dengan baik. Aktivitas pemerasan mereka cenderung menggunakan kekerasan fisik sebagai senjata dan lebih banyak bertujuan sekadar hidup sehari-hari saja. Usaha mereka terkonsentrasi di kantung-kantung kumuh dan daerah penjahat sebagai tukang parkir, penjaga malam, atau penagih hutang berskala kecil. Mereka juga seringkali dimanfaat sebagai barisan tandingan dalam penggusuran atau demonstrasi.

Hampir semua kajian tentang preman di atas memotret preman di perkotaan. Tanpa mengabaikan arti penting aspek politik dari preman di perkotaan, artikel ini lebih mengulas preman sebagai kategori ekonomi yang akan ditelusuri sumber-sumber penghidupan dan kedudukannya dalam suatu kontinum penghidupan di pedesaan.

Asal-usul Preman

Dalam pemahaman penduduk setempat, yang dimaksud dengan preman adalah orang-orang yang ‘kerjaanya’ mengutip sejumlah uang kepada pedagang-pedagang pasar, warung-warung, dan toko-toko di pinggir Jalan Raya Kutocilik pada wajktu-waktu tertentu dengan alasan menjaga keamanan. Istilah preman atau gentho juga digunakan merujuk para bekas penjahat yang pernah malang-melintang di dunia kejahatan kota dan pernah pula dipenjara (residivis) yang pekerjaan pokoknya menjaga kegiatan-kegiatan perjudian, tempat pelacuran, dan toko-toko.

Ada dua asal-usul preman, yakni para penjahat dan pengangguran. Para penjahat berhenti berkegiatan di ‘dunia gelap’ dan memasuki wilayah pemalakan dan atau penjualan jasa keamanan yang agak lebih ‘terang’. Para penjahat kota yang selamat dari perburuan Orde Baru atas mereka di awal dasawarsa 1980-an (petrus) tidak seluruhnya kembali ke dalam dunia kejahatan. Sebagian di antara mereka yang bersembunyi di kampung halaman tetap bertahan di kampung dan menjadi tokoh di dunia preman (bdk. BrĂ¥ten 2003). Pilihan ini dimungkinkan bila desa yang tersebut berdekatan dengan pasar kecamatan atau jalan lintas kota yang ramai. Bagaimanapun, sumber nafkah preman bergantung pada keberadaan tempat-tempat usaha yang ramai tempat mereka ‘menjual jasa’.

Asal-usul perampok, pencopet, penodong, dan berjenis-jenis penjahat kota hingga sekarang belum diteliti. Namun ada kecenderungan salah satu sumber utamanya ialah para pencari kerja yang datang dari wilayah pedesaan. Mereka yang gagal berusaha di dunia halal tak seluruhnya menjadi gelandangan. Sebagian memasuki dunia kejahatan. Dari kalangan merekalah, yakni para penjahat kota yang berasal dari pencari kerja pedesaan, pasokan preman berasal.

Karena sebagian preman-preman di Wetankali berasal dari dunia kejahatan maka tugas aparat keamananlah untuk membina mereka agar tak lagi terjun ke dalam dunia kejahatan. Seperti di banyak tempat di Jawa yang umumnya diorganisasi ke dalam kelompok pemuda atau paguyuban, para preman di Wetankali sebagian besar menjadi anggota Paguyuban Wong Kutocilik yang dikenal oleh penduduk setempat sebagai tempat berkumpulnya “preman dan pemuda pengangguran yang kerjanya luntang-lantung”.

Preman sebagai Pengaman Penghidupan Haram

Di pasar setempat, beberapa bentuk kegiatan molimo bisa dijumpai. Itulah sebabnya salah satu tempat mangkal preman adalah sekitar pasar. Lingkup kekuasaan preman adalah semua tempat usaha yang ada di dalam dan di sekitar pasar mulai dari lapak-lapak pedagang mingguan, toko-toko grosir di dalam dan sekitar, lapak-lapak judi mingguan, rumah bordir, kios minuman keras lokal, dan tempat parkir. Preman juga ‘menguasai’ para pencopet, pengemis jalanan, pengedar narkoba kecil-kecilan, tukang ojeg, tukang becak, kusir delman, dan calo angkutan umum yang busnya kerap mangkal di seberang pasar.

Seorang ketua preman dekat hubungannya dengan beberapa oknum polisi atau tentara dari markas setempat. Beberapa preman sering juga sekaligus seorang informan polisi. Salah satu daya tawar preman kepada para penjahat kecil-kecilan, atau bandar judi yang beroperasi di wilayahnya agar tidak lalai membayar ‘uang keamanan’ adalah ancaman dilaporkan ke pihak kepolisian. Para preman menggunakan istilah jatah untuk semua bentuk setoran dari pedagang pasar dan para penjahat molimo. Artinya, membayar uang keamanan adalah kewajiban dan mengambilnya adalah hak.

Ketua kelompok preman biasanya menempatkan dua sampai tiga anak buahnya di setiap kawasan usaha. Preman-preman ini akan menarik jatah setiap hari atau seminggu sekali dari semua yang dianggap wajib membayarnya. Setiap tengah hari, tiap-tiap preman akan menyetorkan uang keamanan kepada sang ketua. Sebelum dibagi untuk diri sendiri dan anak buahnya, sebagian jatah uang keamanan akan disetorkan kepada seorang oknum aparat polisi dan/atau tentara penghubung yang menjadi ‘atasan’-nya.

Sebagai abdi negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban, aparat polisi rajin turun langsung ke tempat-tempat keramaian. Termasuk ke tempat-tempat perjudian atau pelacuran. Ketua preman atau orang suruhannya sigap mendatangi aparat dan melaporkan bahwa keamanan dan ketertiban terjaga sambil menyerahkan sejumlah uang jatah.

Tempat-tempat judi menjadi salah satu tempat yang sering didatangi oknum aparat karena konon paling lancar menyetor uang keamanan. Aparat yang sedang tugas piket keliling biasanya berjumlah tiga sampai empat orang. Untuk harian, preman pengaman tempat judi menyetor 10 sampai 30 ribu rupiah. Kepada tentara penjaga keamanan negara, preman memberikan uang keamanan langsung ke markas tentara setempat.

Jumlah uang setoran ke oknum aparat akan bertambah menjelang perayaan agustusan. Baik kantor polisi maupun markas tentara akan meminta jatah lebih untuk mengongkosi pengecatan kantor. Di samping itu, menjelang agustusan atau hari ulang tahun kepolisian, rumah judi, rumah bordir, dan perkumpulan preman harus menyumbang sejumlah uang untuk membiayai pertunjukan hiburan yang digelar di kantor polisi dan markas tentara.

Dalam setahun, tidak hanya pada agustusan saja preman menyetor uang lebih. Jika ada kepala kantor polisi atau komandan markas tentara yang pindah tugas, perkumpulan preman juga harus menyiapkan kenang-kenangan seperti sarung, kopyah, dan sajadah. Pada saat pertemuan Hari Bhayangkara di kantor polisi, perkumpulan preman juga wajib mencarikan dana ‘bantuan’ untuk mengongkosi pertunjukan orgen tunggal .

Mencegah pembubaran perjudian oleh aparat kepolisian adalah salah satu tugas pokok preman bagi penyewanya. Bila ada pihak dari oknum kepolisian setempat mendatangi tempat perjudian, preman yang sedang berjaga akan memberi tanda kepada bandar besar bahwa ada tamu datang. Jika tamu berniat membubarkan kegiatan berjudi, maka ketua preman akan mengajukan tawaran-tawaran damai. Pertama-tama bisa diajukannya sejumlah uang sebagai tanda perdamaiannya. Bila tamu menerima tawaran damai sejumlah 100 ribu rupiah, maka preman tersebut akan meminta kepada bandar besar sejumlah 150 ribu. Kelebihannya dipakai untuk jaga-jaga bila aparat keamanan meminta rokok.

Bila di kantor polisi ada rencana penggerebegan tempat-tempat judi, ketua preman biasanya diberitahu salah seorang oknum aparat. Beberapa jam sebelum penggerebekan terjadi, ada aparat yang menghubungi ketua preman yang akan meneruskannya ke bandar judi untuk segera membubarkan diri. Dengan populernya HP (mobilephone), pemberitahuan bisa dengan cepat dan murah disampaikan.

Bila membanding-bandingkan berbagai cerita dari para preman setempat, hubungan mereka dengan bagian intelejen kantor polisi cukup unik. Konon beberapa preman pernah ditawari menjadi intel luar. Tugasnya memberi informasi berbagai kegiatan kejahatan dan pelaku-pelakunya. Selain itu, mereka juga bertugas memberi tahu serta mengawasi bila ada residivis baru pulang kampung.

Hampir semua penggerebekan bisa ditangani preman setempat. Pembubaran perjudian yang tidak mampu ditangani preman kampung adalah operasi gabungan polisi dari kepolisian resor dan tentara dari batalyon tempur di Kabupaten Banyumas. Di satu sisi, operasi gabungan biasanya langsung ke lokasi tanpa pemberitahuan resmi ke kepolisian sektor. Di sisi lain, preman-preman setempat hanya mengenal aparat polisi setempat pula. Sedangkan dengan aparat dari kabupaten tidak pernah berhubungan sama sekali. Jadi, pada saat terjadi penggerebekan, uang sogok tidak berarti apa-apa karena tidak tahu harus dibayarkan kepada siapa. Salah-salah mereka bisa diciduk sekalian. Selain itu, jumlah personelnya juga lebih banyak. Menurut keterangan preman yang pernah menghadapi garukan operasi gabungan, sebenarnya mereka mau disuap, tapi gengsi kepada aparat dari kesatuan lain.

Preman sebagai Pengaman Kegiatan Usaha Halal

Preman-preman menarik uang penjagaan keamanan dari toko-toko dan warung di pasar dan sekitarnya seminggu sekali. Beberapa toko milik keluarga Cina menyetor uang keamanan sebulan sekali. Sebagai gantinya, ketua preman akan menggilir anak buahnya untuk menjaga pertokoan tersebut setiap malam. Preman yang sedang bertugas wajib menyingkirkan orang-orang gila atau pemabuk yang berkeliaran di sekitar warung makan. Ketika hubungan antara preman dengan pemilik warung sudah dekat, tidak jarang pemilik warung menyuruh-nyuruh preman tersebut untuk membeli sesuatu, mengangkatkan barang dari pinggir jalan, atau mengirim pesanan makanan ke kantor camat.

Di Wetankali dan sekitarnya, pelanggan setia jasa keamanan preman adalah pemilik toko-toko keluarga Cina. Mereka paling rajin dan tepat waktu membayar uang keamanan. Menurut ketua preman setempat, keluarga-keluarga Cina itu tidak banyak omong. Salah seorang kepala keluarga Cina mengetahui betul bahwa banyak preman di sekitar Kutocilik. Tapi dia tidak khawatir karena preman-preman itu terkoordinir dengan baik. Preman-preman itu juga hampir tidak pernah menagih uang keamanan di luar kesepakatan. Lagi pula tokonya dijaga dengan baik pada malam hari. “Itung-itung membayar satpam, mas’ ujar mereka.

Pada tahun-tahun gawat 1998-1999, ketika konon banyak penjarahan dan pengrusakan terhadap toko-toko milik keluarga Cina di berbagai kota, preman-preman Pasar Kutocilik berada di garis depan mengamankan pembeli jasanya. Ketua preman konon langsung turun tangan meronda pertokoan sepanjang hari. Hasilnya, tidak ada satupun toko milik keluarga Cina di Kecamatan Kutocilik yang dijarah ataupun dirusak orang. Konon, kawasan pertokoan di Kota Gombong yang banyak dimiliki keluarga Cina terbakar atau dijarah.

Selain mendapatkan uang dari kawasan pertokoan, preman juga memperoleh uang dari tukang ojeg. Caranya, ketua preman mengkoordinir para tukang ojeg dan membuatkan semacam kartu anggota. Siapa saja yang tidak memiliki kartu anggota ojeg tidak boleh berusaha di daerah Kutocilik. Jika ada tukang ojeg bukan anggota tapi menarik penumpang di daerah Kutocilik, maka motornya akan dihadang dan ongkos penumpang diambil. Di seluruh Kutocilik ada sekitar 130 tukang ojeg yang mangkal di mulut-mulut jalan masuk di tepian Jalan Raya Kutocilik dari sekitar kompleks kantor camat di sebelah barat Pasar Kutocilik sampai di kawasan pertokoan dan bengkel di sebelah timur pasar.

Preman sebagai Pengaman Perhelatan Desa

Setiap perayaan hari kemerdekaan RI, sudah menjadi kebiasaan diadakannya berbagai pertandingan olahraga untuk meramaikannya. Salah satu yang paling populer adalah pertandingan sepakbola. Turnamen sepakbola agustusan diikuti berbagai tim dari berbagai desa dan kota sekitar Kutocilik. Turnamen terutama dibiayai oleh sponsor-sponsor setempat mulai dari kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat-Bank Kredit Kecamatan Purwokerto Utara, agen distributor minuman berenergi, toko-toko grosiran, hingga calon bupati Banyumas yang konon mempunyai basis massa di Banyumas selatan. Dari gosip yang beredar, salah satu calon bupati ini merupakan penyumbang paling besar. Konon pula, sekitar 15 juta rupiah diberikan kepada panitia hanya untuk membuat spanduk berukuran besar dan umbul-umbul bergambar calon bupati tersebut yang dapat dipasang di sekeliling lapangan sepakbola pertandingan. Nama calon bupati tersebut juga disebut-sebut oleh panitia turnamen melalui pengeras suara setiap pertandingan akan dimulai atau di waktu istirahat.

Panitia penyelenggara turnamen adalah Paguyuban Wong Kutocilik. Paguyuban ini merupakan perkumpulan pemuda-pemuda yang didirikan oleh muspika (musyawarah pimpinan kecamatan yang terdiri dari camat, kepala kepolisian sektor, dan komandan rayon militer) pada paro kedua dasawarsa 1980-an untuk menampung “kreativitas dan kegiatan-kegiatan positif generasi muda penerus bangsa”. Memang tidak semua anggota paguyuban tergolong preman pasar. Menurut salah seorang aparat desa, anggota Paguyuban ada pula yang dikenal sebagai bandar besar judi, aktivis karang taruna, aktivis partai, anak tentara atau polisi, dan sebagainya.

Turnamen sepakbola ini sebenarnya bisa diadakan di desa mana saja yang mempunyai lapangan. Penunjukan Desa Wetankali sebagai tuan rumah pelaksana bukan karena undian antartim sepakbola, maupun yang bersifat giliran. Pemilihan tersebut lebih karena letak lapangan Desa Wetankali dinilai strategis di dekat Jalan Raya Kutocilik sehingga mudah dijangkau siapa saja. Selain itu, lurah Wetankali yang baru terpilih juga memberikan berbagai kemudahan. Panitia sudah mengenal lurah Wetankali dengan baik, begitu juga sebaliknya. Beberapa tokoh (pentolan) Paguyuban adalah pendukung (botoh) lurah tersebut ketika pemilihan kepala desa Wetankali. Hubungan baik ini konon sudah dibina sejak sang lurah masih menjadi polisi yang kemudian menjabat lurah pada periode sebelumnya. Panitia dari Paguyuban juga mengajak anggota taruna karya Desa Wetankali menjadi panitia. Mereka umumnya ditempatkan sebagai penjaga tempat parkir.

Preman dan Bisnis Parkiran

Di sepanjang Jalan Raya Kutocilik sekitar satu kilometer yang dimulai dari depan Pasar Kutocilik sampai warung terakhir di sebelah timur jalan masuk Desa Wetankali, jejeran warung-warung makan berdiri menyediakan menu makan siang untuk para sopir yang lewat. Sebagian besar warung menyediakan menu khas Kutocilik, yaitu Sate Bebek. Warung-warung makan itu ada yang didirikan secara permanen seperti layaknya restoran, ada pula yang kaki lima di atas gerobak dorong. Setiap hari dari pukul 11 hingga pukul 2 siang, para pengemudi mobil yang sering melalui Jalan Raya Kutocilik silih berganti singgah sebentar untuk makan siang di salah satu warung. Mobil berbagai jenis dan ukuran mulai dari mobil boks angkutan barang, truk beroda enam, sampai truk gandeng, terparkir di tepian jalan. Tidak jarang pula tampak mobil-mobil pribadi. Di lihat dari nomor polisinya, sebagian besar mobil-mobil angkutan tersebut berasal dari luar Banyumas. Ada yang bernomor polisi D (Bandung), Z, (Priangan Timur), B (Jabotabek), H (Semarang), AB (Yogyakarta), bahkan N (Malang).

Bisnis parkiran merupakan salah satu sumber penghasilan sekelompok preman pasar. Berbekal topi dan peluit mereka bisa memperoleh puluhan ribu dalam sehari. Pengelolaan parkir tepian Jalan Raya Kutocilik dilakukan dengan bekerjasama antara preman pasar dengan Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR). Dinas menyediakan karcis parkir berlogo resmi DLLAJR dan baju berwarna oranye berlogo Dinas Perhubungan Kabupaten Banyumas di lengan kiri dan bordiran lambang Kabupaten Banyumas di lengan kanan. Di saku baju juga ada bordir bertuliskan TUKANG PARKIR ditambah kartu tukang parkir resmi yang didaftar ulang setiap tahun ke kantor Dinas.

Setiap Rabu, dua orang pegawai Dinas mendatangi para tukang parkir untuk menyerahkan bundel-bundel karcis parkir baru dan mengambil uang parkiran yang menjadi bagian Dinas sebesar 25 ribu rupiah. Setiap bundel berisi 100 lembar karcis parkir. Di karcis tersebut dicantumkan pasal tentang ketentuan parkir yang diatur Peraturan Daerah No. 8 tahun 2000 tentang Parkir Jalan Umum di wilayah Kabupatena Banyumas dan nomor seri karcis yang menunjukkan tanggal dan tahun berlakunya. Ketentuannya mencakup ongkos parkir untuk berbagai jenis kendaraan. Meski pun setiap jenis kendaraan berbeda ongkos parkirnya, namun di karcis parkir hanya tercantum angka besar bertuliskan Rp. 700,-.

Di Kutocilik, paling tidak ada 3 wilayah parkir. Setiap wilayah dikelola 3 tukang parkir yang semuanya laki-laki. Tukang-tukang parkir resmi ini juga bertugas menyingkirkan tukang parkir yang tidak di bawah pengawasan Dinas. Itulah sebabnya, pengelolaan parkir diserahkan kepada kelompok preman pasar yang mempunyai kekuatan untuk menyingkirkan tukang parkir tidak resmi. Menurut cerita beberapa pemilik warung sate bebek, pernah ada beberapa kasus pemuda pengangguran yang menjadi tukang parkir tidak resmi dipukuli sampai babak belur. Meski demikian, selalu saja muncul tukang parkir tidak resmi baru bila yang babak belur kapok dan menyingkir.Upaya-upaya perebutan lahan parkir bukanlah cerita baru. Paling tidak sejak pergantian ketua preman pasar yang terakhir pada pertengahan 1980-an sampai Agustus 2007 lalu, hanya ada tiga kali pergantian tukang parkir.

Kerjasama pengelolaan parkir menguntungkan kedua pihak. Dinas menerima pendapatan yang relatif lancar dari wilayah-wilayah parkir yang berada di bawah pengawasan, dan preman pasar memperoleh pengesahan dengan adanya karcis resmi dari Dinas. Karcis resmi ini penting karena sopir sering meminta bukti pembayaran parkir. Dengan memperoleh karcis parkir resmi, maka sopir bisa melampirkannya sebagai bukti pengeluaran perjalanan kerja. Kepada sopir-sopir langganan, tidak jarang tukang parkir memberi 2 atau 3 lembar karcis sekaligus meski dengan bayaran 1 karcis saja.

Setiap harinya, satu tukang parkir rata-rata bisa memperoleh uang sekitar 50 ribu rupiah pada siang ahri dan separonya pada malam hari. Semua jenis mobil ditarik 1000 rupiah. Sedangkan sepeda motor tidak wajid membayar parkir. Tukang parkir hanya memberikan karcis jika diminta pemilik kendaraan. Jika tidak diminta, karcis tetap dikantongi. Sisa karcis yang tidak diminta tersebut berguna untuk memberi sopir-sopir langganan yang meminta karcis lebih dari satu.

Biasanya mobil pribadi tidak diberi karcis, kecuali mobil-mobil berplat nomor merah milik pemerintah. Sopir kendaraan milik pemerintah merasa perlu mendapat karcis sebagai bentuk pertanggungjawaban keuangan perjalanan dinas.

Setor setiap Rabu bukan satu-satunya kewajiban tukang parkir. Setahun sekali, mereka harus membayar sewa lahan parkir sebesar 500 ribu rupiah kepada Dinas. Ketua preman yang menjadi penanggung jawab atau koordinator sekitar 10 tukang parkir berseragam, tidak perlu repot-repot mendatangi kantor Dinas di Purwokerto. Setiap tahunnya, pegawai Dinas akan mendatanginya di rumah. Transaksi penyewaan lahan parkiran dilangsungkan di rumah dan dalam suasana tidak resmi atau menurut seorang koordinator tukang parkir disebut bernuansa kekeluargaan. Menurutnya, berusaha di jalanan harus menjalin kerjasama dengan penguasa jalan secara resmi, yaitu Dinas Lalu Lintas Angkutan dan Jalan Raya. Para tukang parkir berseragam berada di lahan parkir mulai pukul 8 pagi sampai pukul 4 sore. Selebihnya bisa bergantian dengan sesama tukang parkir resmi atau ditinggalkan begitu saja. Bila tidak ada tukang parkir resmi yang datang, maka tugasnya diambil alir pemuda-pemuda pengangguran yang ada di sekitar lahan parkir.

Preman, Kosmologi Penghidupan Jawa, dan Peran Aparat Keamanan

Baik budaya adiluhung kraton maupun budaya kasar luar istana merupakan pranatan-pranatan yang mengatur kehidupan orang Jawa di dalam lingkungan masyarakatnya. Pranatan ini merupakan panduan normatif dari tindakan-tindakan sosial dalam berbagai sisi kehidupan masyarakat. Dunia tempat berjalannya ketentuan dan aturan kolektif masyarakat ini dalam kosmologi Jawa disebut alam padhang atau dunia terang. Dunia terang ini adalah tempat orang-orang biasa atau orang Jawa pada umumnya yang menghidupi diri dengan bertani, berdagang, atau menjadi pegawai negara. Di luar keduanya adalah tindakan-tindakan nerak pranatan yang berarti menolak ketentuan dan aturan kolektif. Orang-orang yang menolak ketentuan dan aturan kolektif ini dianggap berada di alam peteng atau dunia gelap (Suhartono 1995: 98).

Menurut Suhartono, keberadaan dunia bawah tanah alam petheng ini diketahui penghuni alam padhang. Oleh sebab itulah sudah sejak jaman Jawa Kuno ada petugas-petugas kerajaan yang menangani khusus alam petheng, yaitu kementrian kapethengan (Suhartono 1995: 98-9). Bagi penduduk Wetankali, dunia kejahatan adalah kenyataan. Dunia gelap tetaplah dunia yang ada penghuninya. Penghuninya menghidupi diri terutama dengan memasuki saluran-saluran molimo. Orang desa menyadari ada segelintir orang yang nekad mengais rejeki di dunia kejahatan. Orang tahu bahwa di pasar atau di kendaraan umum ada pencopet. Tidak sedikit cerita tentang perampok atau pencuri yang pernah atau sedang mengintai harta mereka. Orang desa tahu betul siapa saja yang menghidupi dirinya dengan berjudi, berjualan minuman keras, atau melacurkan diri. Mereka juga menyadari itulah satu dunia lain yang nyata-nyata ada dan didiami sekelompok orang.

Pelaku-pelaku penghidupan haram juga menyadari bahwa kegiatan di dunia gelap dilarang oleh hukum negara dan agama. Karena kesadaran ini pula para pelaku penghidupan haram cenderung menempatkan diri di tempat-tempat sepi, gelap, atau tertutup. Karena keberadaan mereka terlarang dan tidaklah betul-betul rahasia, maka mereka rentan sekali diganggu. Masalah-masalah seringkali datang dari petugas polisi (negara) atau kyai desa (agama) yang sesekali mencoba menutup saluran penghidupan mereka. Selain itu, gangguan juga bisa datang juga dari dalam dunia gelap itu sendiri, yaitu para pesaing yang hendak merebut atau mempersempit relung penghidupan mereka. Untuk menjaga dari berbagai gangguan ini, para pelaku penghidupan haram menyerahkan penjagaannya kepada seseorang atau sekelompok orang yang mau menghadapi masalah yang mungkin datang. Merekalah para preman kampung.
Preman kampung tidak sepenuhnya berada di dalam atau di luar dua dunia, terang dan gelap. Dari sumber-sumber penghidupan pokoknya para preman boleh dikatakan menapakkan satu kakinya di dunia terang dan satu kaki lainnya di dunia gelap. Ada preman-preman yang melindungi pelaku-pelaku kejahatan, tetapi ada pula preman yang menjadi pengaman pelaku usaha halal.

Seperti halnya pemilik warung kecil-kecilan tidak dipandang sebagai pedagang, begitu pula preman tidaklah dianggap sebagai penjahat. Mereka dianggap bekerja atau menjual modal satu-satunya yang mereka milik, yaitu keberanian berkelahi dan kemauan berhubungan dengan dunia gelap. Bagi sebagian orang, preman adalah penghubung ke dunia gelap suap-menyuap. Mereka bukanlah penghuni dunia gelap (alam petheng) tetapi berada di antara dunia terang (alam padhang) dan dunia gelap. Kemampuan amfibi ini berakar dari asal-usul mereka yang hampir semua pernah berada di dunia gelap sebelumnya.

Dari sini kita bisa menyatakan bahwa penghidupan di pedesaan tidak hanya bisa dipilah berdasarkan penggolongan yang biasa yaitu pertanian, perdagangan, dan industri kecil. Saluran-saluran penghidupan pendesaan merupakan kontinum yang merentang dari yang paling ‘terang’ seperti menjadi pegawai negeri dan pemilik sawah luas sampai yang paling ‘gelap’ seperti menjadi pencoleng, rampok, atau pelacur. Dalam rentang terang-gelap itulah ada wilayah abu-abu yang gradasi warnanya juga beragam. Di sinilah preman berada.

Kedekatan paguyuban para preman dengan aparat polisi atau tentara seolah mengungkit-ungkit kembali bangkitnya para kapethengan atau aparat desa di masa kerajaan Jawa yang mengurusi soal kejahatan dan ketertiban. Kapethengan secara resmi adalah pekerjaan halal yang tugasnya mengutip uang jalan kepada para pedagang perantara dan berbagai tempat molimo diadakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar