Rabu, 04 November 2009

Pak Tua yang masih Bersemangat

Saya melangkahkan kaki turun dari bus menuju perempatan di salah satu ujung Kota Tua. Terlihat sekumpulan sepeda onthel tua. Bersama sepeda itu tampak dua orang muda dan satu majikan sepeda. Pria berusia 66 tahun itu, menyapa ramah dan mengajak saya untuk pergi. Saya pun membalas keramahan itu dengan menyapa kabar dan memberikan senyuman tulus, kemudian saya mulai naik dan pergi bersamanya.

Sesaat, tidak ada yang unik dari sepeda yang sudah berumur enam tahun itu. Semuanya tetap dibiarkan standar, kecuali tambahan berupa jok yang sudah ditambal untuk kenyamanan penumpangnya. Terlihat perlengkapan yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari cukup lengkap. Botol minum, kunci perkakas, pompa angin, alat tambal ban, payung dan mantel/jas hujan, merupakan perlengkapan wajib dibawa.

Namun, sungguh berbeda ketika melihat ke belakang punggung majikan sepeda itu. Diawali dengan topi biasa yang ditutup dengan topi jaman Kolonial Belanda bercat putih, jaket biru tua berserta celana bahan yang biru muda menjadi yang unik ketika dipadu dengan slayer hitam sebagai penghangat leher. Namanya Giarto. Namun, saya mengenalnya sebagai Pak Tua ojeg sepeda yang bersemangat.

Sepanjang perjalanan saya nikmati indahnya kawasan kota tua bersejarah, bersama obrolan pak tua. Kehidupan menarik pak tua diawali dengan berhentinya perjuangannya untuk lulus dari SMA Diponogoro di Jakarta, karena kekurangan biaya, dan situasi negara yang terganggu oleh peristiwa 1965. Setelah itu ia bekerja beberapa bulan sebagai loper koran, ‘loper’ kecap, buruh bangunan, dan ‘loper’ koper (mencari pembeli dari toko-toko, red). Kemudian dari tahun 80-an sepeda onthel terpaksa dibelinya seharga Rp.450 ribu untuk menjalani demi mengumpulkan lembaran demi lembaran mata uang pemberian penumpang. Latar pendidikan pak tua itu tak berbeda dengan dua rekan mudanya

Ia tidak seperti dua rekan muda yang bekerja dari pukul tiga sore hingga tiga dini hari berikutnya. Ia menyadari, kondisi fisiknya tidak kuat menahan hembusan angin malam. Pak tua menjalani kehidupan sebagai ojeg sepeda tiap hari, dari pukul tujuh pagi dari rumah keponakannya di kawasan Palmerah. Setiap hari, dengan sepedanya ia tiba di kawasan kota tua pukul sembilan pagi dan kembali pulang pukul tujuh malam. Pak tua biasanya makan siang bersama rekan-rekannya di sebuah warung makan. Namun, yang dibeli hanya lauk-pauk seperti telur-tempe, karena nasi sudah dimasak dan dibawanyadari rumah. Hal ini dikarenakan, bekal yang dibawanya bisa menghemat sekitar dua ribu rupiah untuk setiap kali makan.

Jaga kondisi
Untuk menjaga kondisi kesehatan, pak tua dan dua rekan mudanya tidak merokok. Tetapi menurut ceritanya, ia mengonsumsi suplemen andalan: jamu tradisional berupa kencur-kunyit campur madu, jeruk nipis, garam dan telur ayam kampung. Jamu tradisonal itu dibuat sendiri hampir tiap hari. Itu terbukti dari menguningnya ujung-ujung jari tangannya. Sedangkan bagian-bagian di gigi roda dan rantai sepeda yang dijadikan tumpuan hidupnya, selalu dilumasi agar tidak cepat rusak. Tidak lupa, ia selalu memeriksa kondisi rem sepedanya, agar tetap aman.
Berkat jerih payahnya mengayuh sepeda, kini tiga anak dari istri pertamanya sudah bekerja. Dua di antaranya telah berkeluarga dan memberinya kebahagian berupa anak cucu. Sedangkan satu anak lagi dari istri kedua sedang mencari pekerjaan di daerahnya. Sebenarnya, anak-anak pak tua prihatin dengan kondisi fisiknya. Mereka menyarankannya untuk beralih ke ojek motor. Namun ia merasa bahwa motor amat berisiko. Belum lagi ada begitu banyak aturan yang harus ditaati. yang jelas lebih besar dan perlu biaya serta perhatian ekstra. Ingatan pada motornya yang pernah hilang membuat pak tua merasa trauma dan tidak aman. Sementara, jika ingin beralih ke bidang lain, pak tua tidak punya kemampuan dan biaya lebih. Ia pun sudah merasa nyaman untuk tetap sebagai ojeg sepeda. Selain karena relatif lebih aman, bekerja sebagai ojeg sepeda di kawasan kota tua ini mendapatkan kelonggaran aturan dari pemerintah DKI mengenai ojeg sepeda.

Usai mengambil beberapa foto bangunan-bangunan bersejarah di kota tua, dengan tetap bersemangat pak tua mengajak saya untuk beranjak pergi melihat suasana baru di kawasan galangan kapal-VOC dan Pasar Ikan. Pak tua kembali menceritakan suka dukanya sebagai ojeg sepeda. Pernah suatu kali, hampir seluruh bagian di Jakarta dilanda banjir. Hal ini kontan menimbulkan keprihatinan bagi orang yang mempunyai transportasi kendaraan bermotor. Namun, ini justru memberikan rejeki bagi pak tua. Banyak orang meminta jasa pelayanannya. Sehingga dalam satu hari pak tua mendapatkan bisa mengantongi penghasilan di atas Rp.200 ribu. Peluhnya benar-benar terbayarkan. Pernah juga pak tua mendapatkan USD 100 dari seorang turis asing yang ingin berwisata ke kota tua. Saat itu dengan semangatnya ia menjadi seorang pemandu dadakan.

Akhir perjalanan. Kami kembali ke pangkalan. Pak tua benar-benar mengagetkan saya. Ia berhenti sejenak, untuk mengambil sebuah tutup bekas botol minuman bersoda yang kotor, yang akan ia pakai sebagai penutup botol minum di rumahnya. Di tengah keadaan ekonomi yang serba terbatas, pak tua selalu mencoba memanfaatkan keadaan di sekitarnya secara efisien. Tidak perlu membeli yang baru. Cukup mencari rejeki yang tersedia di sepanjang perjalanan. Dari sini, pak tua melanjutkan perjalanan sembari berkeluh kesah.

BLT dan konversi minyak tanah
Di pemerintahan kali ini, ia menilai, tidak ada perubahan ekonomi yang terasa. Terlihat dari program konversi minyak tanah ke gas, misalnya. Meski program itu sudah dijalankan, namun harga kedua produk itu tetap tidak terjangkau olehnya. Program bantuan yang diterima berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp.1,2 juta secara bertahap pun terkesan hanya melegakan tenggorokan beberapa bulan saja. Bagaimana tidak? Kebutuhan kedua anaknya yang belum lulus sekolah pada waktu itu terasa ‘tak ada habisnya’. Beberapa kebijakan pemerintah terdahulu di bidang ekonomi pun masih diingat dan terasa berat untuk dilupakan, khususnya ketika kenaikan harga bahan bakar minyak dua kali lipat.

Bahkan sehari sebelum saya bertemu, pak tua hanya menangguh penghasilan sebesar Rp 18 ribu. Padahal, biaya makan per harinya sebesar Rp.15 ribu, belum dipotong uang ‘jaga-jaga’ sebesra Rp 10 ribu.

Semua itu, tetap tidak mengurangi semangatnya sebagai kepala keluarga. Semangat untuk memberikan yang terbaik pada anak dan istrinya. Jika dikumpulkan dengan penghasilan tiga hingga empat puluh ribu per hari dari ojeg sepeda, memang tidak akan cukup untuk menghidupi lima anak dan istrinya. Tetapi ternyata per bulan ia bisa meraih sekitar Rp.1,1 juta. Dari jumlah itu, Rp. 600 ribu selalu ia sisihkan untuk dikirimkan untuk keluarga di daerah. Selama hidupnya pak tua pun tetap bertanggung jawab sebagai suami setia dan bapak dari anak-anaknya. Sepeninggal almarhum istri pertamanya, pak tua tidak berlama-lama larut dalam kesedihan. Ia terus melanjutkan kerja sebagai ojeg sepeda. Hingga akhirnya Sang Kuasa memberinya kebahagiaan dengan mempertemukannya dengan istri keduanya.

Hal-hal yang dialaminya ternyata tidak mengubah semangat pak tua. Tidak ada kata lelah. Putus asa pun tidak pernah. Pak tua selalu bersemangat dan terbiasa dengan kehidupan ini. Ia terus bertahan demi kelangsungan hidup keluarga. Satu hal penting yang selalu ia jaga adalah niatnya untuk bekerja secara halal, dan berbuat benar tanpa diiringi rasa iri hati. Istri bersama lima anaknya sungguh memberikan inspirasi yang mendalam untuk semangat juang pak tua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar